Friday, October 5, 2007

Jihad "Sebuah Pertengkaran Makna"


D alam dasawarsa terakhir ini kita seringkali dihadapkan pada peristiwa yang menggetarkan sisi kemanusiaan kita dengan banyaknya serangkaian aksi yang seringkali menelan korban baik muslim maupun non muslim seperti peristiwa 11 September 2001 yang fenomenal, pemboman hotel Marriot dan beberapa kafe di Bali, penyanderaan dan eksekusi yang dilakukan terhadap reporter asing di Afghanistan sampai yang terakhir adalah pemboman yang terjadi di kawasan wisata Sharm El-Sheikh di Mesir. Yang lebih memiriskan hati kita adalah bahwa serangkaian aksi tersebut seringkali dilakukan atas nama jihad atau perang suci (holy war) sehingga dampak dari hal itu adalah bahwa dikalangan publik di barat dan negara-negara non muslim, Islam seringkali diidentikkan dengan “terorisme, fundamentalisme dan intoleransi”.
Contoh dari bagaimana negatifnya pandangan kalangan non muslim terhadap Islam adalah pernyataan Paus Benediktus XVI baru-baru ini saat menyampaikan kuliah teologi di sebuah universitas di Jerman mengutip perkataan salah seorang Kaisar Bizantium Emanuel di abad 14 “Tunjukkan padaku apa yang baru dari Muhammad selain ajaran yang berbau iblis dan perintah menyebarkan agama dengan pedang” padahal di kalangan muslim sendiri Islam diyakini diturunkan Tuhan kepada Muhammad SAW dengan misi menyebarkan kasih sayang (rahmah) bagi semesta alam ”Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil ‘alamiin” walaupun tidak dapat kita pungkiri bahwa secara praksis di kalangan Islam sendiri ada kelompok yang memaknai jihad lebih ke arah jihad fisik yang bersifat ofensif sehingga menampilkan sosok Islam yang garang, destruktif dan intoleran, akan tetapi dengan tidak bermaksud untuk berapologi diantara dua pandangan tersebut kita tentu lebih memilih pandangan yang menghadirkan Islam sebagai agama yang damai, toleran dan penebar kasih sayang sebab secara etimologis kata Islam sendiri pararel dengan kata salam yang berarti damai dan secara realita pandangan seperti inilah yang tentu lebih memihak kepada kemaslahatan dunia, pun demikian pandangan seperti ini ternyata belum cukup untuk menjawab realita yang ada karena agama yang secara normatif-konseptual merupakan rahmat namun historisitasnya ternyata bisa berbeda sama sekali.
Saat penulis masih berada di Indonesia penulis sempat menyaksikan sebuah acara di salah satu stasiun tv swasta yang bertemakan “Antara hitam dan putih” yang menyuguhkan sebuah perdebatan menarik antara dua pemaknaan jihad yang berbeda, kelompok satu yang bisa dikatakan merupakan representasi dari Islam moderat lebih memaknai jihad dengan dua pemaknaan yaitu jihad fisik yang bersifat defensif dan jihad non fisik yang dalam aplikasinya bisa sangat luas meliputi segala amal perbuatan yang mempunyai nilai kebajikan, sementara kelompok kedua yang mewakili Islam fundamentalis cenderung memaknai jihad sebagai perang suci bahkan salah satu diantara mereka yang merupakan salah satu pelaku bom bali dengan sangat ekstrim mengatakan bahwa jihad hanya mempunyai satu penafsiran yaitu “qital” (perang fisik) berhadapan dengan non muslim dan mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah bentuk pengabdian terhadap agama yang balasannya tidak lain adalah surga.
Dalam dunia diskursus segala jenis pemaknaan atas teks mungkin adalah sah-sah saja karena, tak ada yang bisa mendaku sebagai satu-satunya pemilik otoritas kebenaran "pendapat kami benar tapi berpotensi untuk salah dan pendapat selain kami kami pandang salah tapi berpotensi untuk benar " demikian imam syafi'i berujar.dan menurut sebuah teori linguistik sebuah teks sepenuhnya adalah milik pembaca, atau dalam pernyataan yang lebih ekstrim dikatakan bahwa dalam persoalan tafsir pemilik teks tidak punya wewenang sedikitpun untuk menyatakan bahwa maksud yang ia kehendaki adalah yang pa-ling mewakili kebenaran, “pengarang telah mati” demikian kata Barthes dan Foucoult, tapi persoalannya ketika sebuah penafsiran tersebut ternyata bertentangan dengan prinsip-prinsip humanisme bahkan mempunyai potensi merusak terhadap tatanan dunia dan peradaban maka menjadi patut untuk diimani bahwa perlawanan terhadapnya adalah sebuah keniscayaan.
Berbicara tentang konsep jihad Louis Ma'luf dalam Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam menyebutkan bahwa jihad secara etimologis berasal dari kata jahada yang bermakna mengerahkan daya upaya, kemudian dalam artian yang lebih khusus dikatakan sebagai upaya memerangi musuh dengan tujuan pembelaan terhadap agama. Dalam Al-Qur’an sendiri kata jihad dan kata yang mempunyai akar kata yang sama dengan-nya disebutkaan kurang lebih dalam 39 ayat yang terpencar disekitar 19 surat baik makkiyah maupun madaniyah. Sementara dalam leksikon Arab klasik kata jihad merujuk ketiga makna yaitu: perjuangan secara fisik, perjuangan melawan hawa nafsu, setan (mujahadah), dan berjuang dalam menelorkan gagasan-gagasan yang positif (ijtihad). Dalam konteks ayat-ayat yang turun di Makkah jihad lebih banyak dilakukan melalui persuasi yang tercermin dalam QS.19:5 atas dasar itu pada masa ini jihad lebih bermakna etis, moral dan spiritual sedangkan dalam konteks ayat-ayat yang turun di Madinah, jihad seringkali diartikan dengan makna yang lebih luas yaitu “mengerahkan segala upaya” yang di dalamnya mencakup perang secara fisik.
Jika kita menengok sejarah awal kaum muslimin jihad dalam artian perang fisik menemukan momentumnya ketika orang-orang muslim berperang melawan orang-orang Makkah pada peristiwa pe-rang Badar Kubra pada tahun kedua Hijrah bertepatan dengan 624 M, pun kalau kita lihat lebih lanjut jihad fisik yang dilakukan Nabi beserta para sahabat pada peristiwa perang Badar lebih merujuk ke perang dalam artian yang defensif yaitu demi menjaga kelangsungan masyarakat muslim di Madinah yang pada saat itu masih merupakan embrio kecil dan untuk mempertahankan keyakinan ummat Islam dari serangan orang-orang Makkah yang tidak senang Islam berkembang di tanah Arab dari sini saja spirit jihad tidak bertujuan untuk merusak tapi justru pembelaan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan..
Dengan demikian pengidentikan jihad hanya sebagai perang fisik yang ofensif apalagi menganggapnya sebagai langgam bahasa dakwah Islam adalah tidak tepat karena pada masa awal penyebarannya Nabi melakukan dakwah bukan dengan landasan perang dan pedang akan tetapi dengan landasan kebijaksanaan dan semangat mengajak kepada kebaikan dengan nasehat yang baik berdasarkan perintah Tuhan “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik” dan itu berlangsung selama sepuluh tahun sejak di utusnya Nabi. Selain itu pemaknaan jihad sebagai perang ofensif adalah bertentangan dengan beberapa landasan teologis dalam Al-Quran dan Hadits, diantaranya QS.4:114 “tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh manusia memberi sedekah, berbuat kebaikan, atau mengupayakan perdamaian diantara manusia” dan di sebuah hadits disebutkan Al-Hafiz Abu Bakr Al-Bazzar meriwayatkan dari Anas ra, bahwasanya Rasulullah SAW berkata kepada Abu Ayyub: “Maukah kamu aku tunjukkan kepada suatu per-niagaan? Abu Ayub berkata: “Mau wahai Rasulullah” kemudian Rasulullah bersabda: “Hendaknya kamu mengupayakan perdamaian diantara manusia jika mereka saling merusak satu sama lain dan berusahalah merekatkan mereka jika mereka saling membuat jarak.
Disamping itu perang juga bertentangan dengan hati nurani dan kesucian jiwa yang dalam hal ini diwakili oleh ucapan para malaikat ketika mengungakapkan kebe-ratannya atas penciptaan manusia karena dikhawatirkan akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah (QS 2:30). Kalau kita tarik dalam konteks negara modern yang memiliki senjata pemusnah massal yang dalam sekali sasaran saja bisa meluluh lantakkan dunia dengan banyaknya korban yang berjatuhan jelas makna jihad dalam artian perang fisik berpotensi memporak porandakan tataran dunia, dan peradaban yang terdiri atas sumber daya alam dan manusia ini tidak mungkin diba-ngun atas landasan perang. Kita tentu tidak ingin perang dunia terulang kembali bukan?
Akhirnya penulis berpendapat bahwa jihad dalam konteks kekinian lebih tepat jika di maknai sebagai upaya melawan kecenderungan-kecenderungan negatif dalam diri manusia sebagaimana sabda Nabi setelah perang Badar ketika melihat bahwa pengertian konsep ini telah melampui makna spiritualnya “kita kembali dari jihad kecil (perang badar) menuju jihad akbar (perang melawan hawa nafsu), dan juga bisa dimaknai sebagai upaya mewujudkan keadilan, kemajuan dan perdamaian antar ummat manusia.. Wallahu a’lam bisshawaab (otoritas kebenaran hanya di tangan Tuhan).